Hidup memang sungguh adil ya. Baru saja saya tahu hampir 120 reels saya dijiplak spiritual healer gadungan, esoknya saya menjadi bintang tamu di webinar Suruh Nusantara, milik Mbah Tunjung Dhimas Bintoro, salah satu spiritualis Jawa dengan cabang di hampir tiap wilayah di Jawa-Bali. Saya kenal beliau di tahun 2018 dalam retret yang pernah saya ikuti bersama ibu saya. Dalam 5 tahun lebih, kami berdua sudah jauh melampaui si guru spiritual gadungan yang memimpin retret itu. Terus terang, alasan saya ikut retret itu memang untuk ketemu dengan Mbah Tunjung yang tidak tinggal di Jakarta. Banyak teman saya yang sudah bertemu beliau, dan saya tau saya harus ikut retret supaya bisa bertemu dengannya.
Intuisi tidak pernah salah, saya tidak pernah menyesal mengikuti retret itu, meski sepanjang acara saya menjaga jarak dengan si guru gadungan pemimpin retret dan mem-block dia seminggu kemudian (sebuah kisah yang enggan saya ceritakan secara publik).
ada yang kalian kenal di foto ini? |
Singkat cerita, hari Rabu silam saya diundang untuk berbagi kisah sebagai childfree. Baru tau, di Jawa ada istilah Tan Madrewya Peputra untuk kondisi childfree, yaitu "tidak memiliki anak". Mbah Tunjung menyebut saya seorang petapa milenial, karena saya memilih jalan hidup suyasin* yaitu jalan sunyi milik petapa. Dipikir-pikir, benar juga ya. Saya jadi bisa fokus dengan kegiatan saya, tidak dihebohkan dengan urusan anak yang rumit.
Tapi ini jadi mengingatkan saya pada gambar yang dibuat mas Kocko hampir 6 tahun silam, dalam retret yang sama, berdasarkan gambaran masa lalu yang dilihat Mbah Tunjung dari DNA saya. Ada gambar seorang petapa perempuan di kaki bukit di Jawa Barat dan tulisan "Seorang spiritualis wanita yang datang dari Tibet ke Nusantara di Kerajaan Kahuripan era Erlangga dan menjadi cenayang kerajaan abad 11-12" (tiba-tiba saya mau tertawa membaca ulang ini, karena sejak 2018 saya tidak pernah lagi membuka gambar ini sampai barusan).
gambar oleh mas Kocko Hendratmo |
Mbah Tunjung pernah berkata, dari milyaran gambaran tentang masa lalu, yang dia tangkap adalah apa yang paling dekat dengan diri saya waktu itu. Waktu itu saya tidak suka melihat gambar ini. Kok petapa? Saya masih senang romansa, senang hidup layaknya orang kebanyakan, senang berkarier, dll. Apalagi karena teman yang sering cerita tentang Mbah Tunjung mendapat gambar seorang menteri kerajaan (dan dia memang sempat berkarier di politik setelah 2018).
Sedikit yang saya tahu saat itu, tepat 2 minggu setelah menerima gambar itu, saya bertemu dengan guru petapa modern yang kemudian menggembleng saya dengan ilmu kesadaran dari Tibet selama 1,5 tahun, dan hidup saya saat ini rasanya persis dengan gambar itu: pejalan spiritual yang pindah dari Jakarta ke Bali (makin ke Timur ya) dengan basis ilmu Jawa dan Tibet, dan membaca tarot. Beberapa spiritualis memang banyak yang melihat bahwa jiwa saya sangat Jawa meski tampang seperti Cina. Rupanya kali ini saya mengulang kehidupan lalu; dan saya tau kali ini harus jadi lebih baik dari yang lalu.
Kembali ke webinar Rabu malam kemarin, hampir semua pemikiran saya sejak muda (bangku SMP) dibeberkan oleh Mbah Tunjung di awal acara. Sisanya hanya pengalaman pribadi saja, tetapi cuilan-cuilan pemikiran saya sepanjang 30 tahun terakhir dirangkum dan dipaparkan oleh beliau dari sudut pandang Jawa. Saya terpukau betapa relate-nya pemikiran saya dengan semua penjabaran beliau itu. Meski saya tidak terlalu peduli dengan membludaknya angka populasi pasca pandemi yang konon sudah lebih dari 8 milyar jiwa (sebelum COVID-19 rasanya baru 7 milyar, kenapa jadi semakin tinggi?) tetapi saya sangat concern dengan keberlangsungan dunia ini, keragaman hayati dan biota laut, karena semakin banyak manusia tentu semakin banyak juga sampah yang dihasilkan.
Sepanjang webinar saya menyimak data dan penjabaran dari Mbah Tunjung sambil teringat hal-hal yang pernah terjadi dengan beberapa guru terakhir yang saya temui karena mirip: semuanya seperti mendeskripsikan kehidupan saya, padahal saya yang menjalaninya (karena mereka lebih tau teorinya sedangkan saya prakteknya saja tanpa tau teori), dan seakan menjadikan saya seperti bahan penelitian atau kajian mereka (mungkin) karena perjalanan saya yang unik. Saya tidak keberatan sih, karena apa yang saya dengar dari mereka selalu menambah khazanah pengetahuan yang meningkatkan kesadaran saya (or should I say they helped me remembering?)
Sejak acara webinar itu (yang baru 3 hari lalu) saya menjadi punya pandangan baru terhadap diri saya sendiri yang juga membuat saya semakin ajeg mantep: mungkin memang saya tidak perlu peduli pada jumlah follower atau hal membangun brand image tertentu karena saya memang diperjalankan sebagai petapa lagi di kehidupan kali ini. Dan bahwa saya sudah berada di jalan yang benar karena sudah menjaga lingkup saya hanya dikelilingi orang-orang yang bisa saya percaya saja; tidak perlu menjadi siapapun yang bukan saya.
Terima kasih, Mbah Tunjung dan Suruh Nusantara untuk kesempatan berbagi dan belajar bersama dengan sedulur se-Nusantara. Semoga semua makhluk berbahagia.
Rahayu. Tabik.
~VT
pernyataan yang saya buat pagi setelah webinar dengan Mbah Tunjung |