Again, I'm writing this post in Indonesian. Also, it's the translation to my previous post. But this one is re-written for my Indonesian fellas.
Ini adalah kerisauan saya yang lain tentang perilaku 'tipikal' di Indonesia. Beberapa bulan silam, saya bertemu dengan seorang gadis berusia 26 tahun yang baru pindah dari Jakarta ke Bali. Mimpi yang mendorongnya pindah ke Bali sesimpel "menemukan pria bule yang bisa memberinya bayi blasteran yang lucu". Sayangnya, hampir semua wanita muda Indonesia pindah ke Bali dengan impian serupa. Tidak semuanya, tapi hampir semua yang saya temui.
Ini juga bukan salah mereka sepenuhnya, tentu. Kebanyakan lingkungan pergaulan di Indonesia membesarkan anak gadis mereka untuk segera menikah dan memberi cucu bagi orang tua. Sementara kebanyakan memenuhi harapan ini, ada juga yang tidak cukup beruntung menemukan calon suami di usia muda. Banyak gadis yang merasa tidak cukup cantik untuk mendapatkan pria lalu 'kabur' ke Bali yang terkenal sebagai tempat menemukan cowok bule, karena mereka juga tahu betapa para bule itu mengagumi wanita Indonesia yang eksotis.
Saya kehilangan respek saya pada gadis yang saya temui ini, atau mungkin kecewa pada cita-citanya. Banyak kasus pernikahan yang gagal karena alasan-alasan seperti ini: menikah sebelum usia 25 tahun, segera memberi orang tua cucu, mencari suami ganteng supaya bisa dapat anak yang lucu, 'memperbaiki keturunan', dan seterusnya. Siapapun yang mengajari konsep ini pada para gadis, saya ingin bilang: itu bukan jawabannya. Hal-hal ini bukan jawaban untuk kehidupan bahagia yang penuh makna. Cinta, kasih sayang dan perhatian adalah jawabannya.
Ketika orang menikah karena 'sudah umurnya', hanya demi punya keturunan, atau kebetulan ada bule yang mau... apa yang akan terjadi jika pernikahan itu tidak bahagia karena tidak ada cinta yang mendasarinya? Apa yang akan terjadi jika pasanganmu tidak bisa punya keturunan--dan kalaupun kalian punya anak, apakah kalian siap menjadi orang tua yang baik? Dan bagaimana kalau bule itu hanya memanfaatkan kita demi mendapatkan hak kependudukan WNI?
Saya tahu, saya sangat sinis dan skeptis mengenai hal ini, tapi ini benar terjadi di depan mata saya. Saya tidak bilang kalau semua pernikahan antar ras hanya berdasarkan 'mutual benefit' atau dengan tujuan yang menguntungkan kedua belah pihak. Dalam beberapa kasus, saya bisa melihat cinta sejati dan saya berbahagia bagi mereka yang menikah atas nama cinta.
Tapi bener deh, itu hanya karena mereka mujur menemukan cinta di dalam diri seseorang yang kebetulan bule. Itu tidak berarti kamu harus iri atau melakukan apapun untuk mendapatkan kehidupan yang sama. Ini sama saja seperti membeli sepasang sepatu trendi yang tidak nyaman dipakai tapi kamu tetap memakainya supaya terlihat modis. Beneran, saya sungguh muak dengan orang-orang seperti ini.
Ayah saya seorang 'blasteran' ras Banten dari ayahnya dan Inggris dari ibunya. Hal ini memberi saya seperempat darah bule yang cukup membuat saya berbeda dengan orang lain di sekitar saya, terutama dari jenis kulit saya dan cara saya berpikir. Terlihat menarik memang, tapi hal-hal ini menjadikan masa kecil saya penuh tantangan, karena di Bandung tempat saya tumbuh sejak usia 8 tahun mengharuskan orang harus berpenampilan, bersikap dan berpikir cenderung serupa. Untuk waktu yang cukup lama, saya merasa tersiksa dengan 'hukuman' ini.
Tapi toh saya berhasil melewati itu semua, dengan kasih dan dukungan dari keluarga--terutama orang tua saya. Saya cukup beruntung memiliki mereka yang peduli akan kesejahteraan dan kedamaian pikiran saya, walaupun mereka juga tidak sempurna. Kami belajar dan mencoba menjadi lebih baik setiap hari.
Tapi kenyataan yang saya dapati dari sekitar saya adalah, orang-orang lebih terfokus pada memiliki anak lucu (yang pastinya lebih lucu kalau blasteran bule). Akhirnya yang kita dapatkan adalah anak-anak berwajah menarik tapi karakter atau jiwanya tidak. Saya tahu ini karena pernah berkencan dengan salah satu dari anak-anak ini. Dan kita semua tahu beberapa selebritis Indonesia yang dibesarkan seperti ini: wajah rupawan tapi otaknya kosong. Saya mengasihani mereka, tapi untungnya masyarakat kita masih sangat menghargai wajah-wajah yang cantik dan ganteng.
Anda mungkin heran kenapa saya begitu peduli soal ini sementara saya sendiri tidak punya anak. Yah satu hal yang pasti, saya tidak perlu punya anak untuk membuktikan apapun pada siapapun. Saya seorang egois yang tidak (atau belum) mau membagi waktu dan perhatian saya pada anak-anak sementara saya masih ingin berkarya lebih banyak lagi. Dan poin kedua adalah: orang-orang dengan karakter lemah akan memberi kita banyak masalah. Salah satu cara menghindarinya yang paling mujarab adalah dengan mendidik mereka sejak dini.
Kembali ke persoalan menikahi bule 'hanya untuk punya bayi lucu', saya ingin menarik topik pembicaraan ini ke akarnya. Kebanyakan orang tua jaman sekarang (termasuk ortu dan kakek-nenek saya), tidak punya pengetahuan mendalam soal nenek moyang atau sejarah, budaya dan peninggalan sejati bangsa kita. Kebanyakan dari kita terpukau dengan gaya hidup modern kebarat-baratan yang membuat kita lupa kulit. Dan kebanyakan dari kita menganggap para bule itu lebih keren dari Indonesia. Tanpa cinta pada negara ini, kita cenderung menerima bulat-bulat semua yang para bule itu berikan pada kita. Tanpa mengetahui identitas sejati bangsa ini, kita kekurangan prinsip dan akhirnya kurang mampu menanamkan nilai-nilai ini pada anak kita.
Sebagai imbasnya, para perempuan yang merasa kurang 'laku' di antara pria Indonesia akan mencoba peruntungan mereka dengan pria asing yang lebih menghargai perbedaan dan lebih tertarik untuk mempelajari budaya Indonesia. Hal ini bisa menjadi hubungan yang menarik jika dilakukan dengan benar. Tapi yang terjadi kebanyakan adalah para perempuan ini terlalu mengagungkan pria-pria asing ini dan rela melakukan apa saja untuk menjadi istri mereka dan punya bayi dari mereka.
Saya melihat banyak orang seumuran saya, sebagai 'blasteran' yang sangat rupawan tapi tidak cerdas, karena orang tua mereka tidak terlalu mempedulikan perkembangan karakter mereka. Sayang aja, kebanyakan orang yang hidupnya 'hancur' adalah orang-orang dengan wajah paling cantik/ganteng. Identitas, harga diri atau karakter mereka kurang terbentuk.
Apakah ini yang kita inginkan untuk generasi penerus? Di TV kita menonton wajah-wajah indah, yang kebanyakan hasil dari pernikahan antar ras. Tapi kita juga bisa melihat betapa rendahnya kualitas pendidikan dari acara TV itu. Yang dipedulikan hanya penampilan dan gaya. Kehidupan orang kaya yang diumbar berlebihan padahal semuanya palsu.
Kita dibuat lupa, bahwa yang lebih penting adalah apa yang ada di dalam otak dan hati. Kita tidak perlu anak-anak bodoh bertampang keren. Dan kita juga tidak mau generasi cerdas tapi tidak berhati. Jadi sepertinya yang harus kita pertanyakan adalah: apa benar anak-anak lucu adalah satu-satunya yang kita inginkan untuk membentuk sebuah keluarga? Atau cinta sejati kah yang kita cari?
![]() |
via quora |
Ini adalah kerisauan saya yang lain tentang perilaku 'tipikal' di Indonesia. Beberapa bulan silam, saya bertemu dengan seorang gadis berusia 26 tahun yang baru pindah dari Jakarta ke Bali. Mimpi yang mendorongnya pindah ke Bali sesimpel "menemukan pria bule yang bisa memberinya bayi blasteran yang lucu". Sayangnya, hampir semua wanita muda Indonesia pindah ke Bali dengan impian serupa. Tidak semuanya, tapi hampir semua yang saya temui.
Ini juga bukan salah mereka sepenuhnya, tentu. Kebanyakan lingkungan pergaulan di Indonesia membesarkan anak gadis mereka untuk segera menikah dan memberi cucu bagi orang tua. Sementara kebanyakan memenuhi harapan ini, ada juga yang tidak cukup beruntung menemukan calon suami di usia muda. Banyak gadis yang merasa tidak cukup cantik untuk mendapatkan pria lalu 'kabur' ke Bali yang terkenal sebagai tempat menemukan cowok bule, karena mereka juga tahu betapa para bule itu mengagumi wanita Indonesia yang eksotis.
Saya kehilangan respek saya pada gadis yang saya temui ini, atau mungkin kecewa pada cita-citanya. Banyak kasus pernikahan yang gagal karena alasan-alasan seperti ini: menikah sebelum usia 25 tahun, segera memberi orang tua cucu, mencari suami ganteng supaya bisa dapat anak yang lucu, 'memperbaiki keturunan', dan seterusnya. Siapapun yang mengajari konsep ini pada para gadis, saya ingin bilang: itu bukan jawabannya. Hal-hal ini bukan jawaban untuk kehidupan bahagia yang penuh makna. Cinta, kasih sayang dan perhatian adalah jawabannya.
Ketika orang menikah karena 'sudah umurnya', hanya demi punya keturunan, atau kebetulan ada bule yang mau... apa yang akan terjadi jika pernikahan itu tidak bahagia karena tidak ada cinta yang mendasarinya? Apa yang akan terjadi jika pasanganmu tidak bisa punya keturunan--dan kalaupun kalian punya anak, apakah kalian siap menjadi orang tua yang baik? Dan bagaimana kalau bule itu hanya memanfaatkan kita demi mendapatkan hak kependudukan WNI?
Saya tahu, saya sangat sinis dan skeptis mengenai hal ini, tapi ini benar terjadi di depan mata saya. Saya tidak bilang kalau semua pernikahan antar ras hanya berdasarkan 'mutual benefit' atau dengan tujuan yang menguntungkan kedua belah pihak. Dalam beberapa kasus, saya bisa melihat cinta sejati dan saya berbahagia bagi mereka yang menikah atas nama cinta.
Tapi bener deh, itu hanya karena mereka mujur menemukan cinta di dalam diri seseorang yang kebetulan bule. Itu tidak berarti kamu harus iri atau melakukan apapun untuk mendapatkan kehidupan yang sama. Ini sama saja seperti membeli sepasang sepatu trendi yang tidak nyaman dipakai tapi kamu tetap memakainya supaya terlihat modis. Beneran, saya sungguh muak dengan orang-orang seperti ini.
Ayah saya seorang 'blasteran' ras Banten dari ayahnya dan Inggris dari ibunya. Hal ini memberi saya seperempat darah bule yang cukup membuat saya berbeda dengan orang lain di sekitar saya, terutama dari jenis kulit saya dan cara saya berpikir. Terlihat menarik memang, tapi hal-hal ini menjadikan masa kecil saya penuh tantangan, karena di Bandung tempat saya tumbuh sejak usia 8 tahun mengharuskan orang harus berpenampilan, bersikap dan berpikir cenderung serupa. Untuk waktu yang cukup lama, saya merasa tersiksa dengan 'hukuman' ini.
Tapi toh saya berhasil melewati itu semua, dengan kasih dan dukungan dari keluarga--terutama orang tua saya. Saya cukup beruntung memiliki mereka yang peduli akan kesejahteraan dan kedamaian pikiran saya, walaupun mereka juga tidak sempurna. Kami belajar dan mencoba menjadi lebih baik setiap hari.
Tapi kenyataan yang saya dapati dari sekitar saya adalah, orang-orang lebih terfokus pada memiliki anak lucu (yang pastinya lebih lucu kalau blasteran bule). Akhirnya yang kita dapatkan adalah anak-anak berwajah menarik tapi karakter atau jiwanya tidak. Saya tahu ini karena pernah berkencan dengan salah satu dari anak-anak ini. Dan kita semua tahu beberapa selebritis Indonesia yang dibesarkan seperti ini: wajah rupawan tapi otaknya kosong. Saya mengasihani mereka, tapi untungnya masyarakat kita masih sangat menghargai wajah-wajah yang cantik dan ganteng.
Anda mungkin heran kenapa saya begitu peduli soal ini sementara saya sendiri tidak punya anak. Yah satu hal yang pasti, saya tidak perlu punya anak untuk membuktikan apapun pada siapapun. Saya seorang egois yang tidak (atau belum) mau membagi waktu dan perhatian saya pada anak-anak sementara saya masih ingin berkarya lebih banyak lagi. Dan poin kedua adalah: orang-orang dengan karakter lemah akan memberi kita banyak masalah. Salah satu cara menghindarinya yang paling mujarab adalah dengan mendidik mereka sejak dini.
Kembali ke persoalan menikahi bule 'hanya untuk punya bayi lucu', saya ingin menarik topik pembicaraan ini ke akarnya. Kebanyakan orang tua jaman sekarang (termasuk ortu dan kakek-nenek saya), tidak punya pengetahuan mendalam soal nenek moyang atau sejarah, budaya dan peninggalan sejati bangsa kita. Kebanyakan dari kita terpukau dengan gaya hidup modern kebarat-baratan yang membuat kita lupa kulit. Dan kebanyakan dari kita menganggap para bule itu lebih keren dari Indonesia. Tanpa cinta pada negara ini, kita cenderung menerima bulat-bulat semua yang para bule itu berikan pada kita. Tanpa mengetahui identitas sejati bangsa ini, kita kekurangan prinsip dan akhirnya kurang mampu menanamkan nilai-nilai ini pada anak kita.
Sebagai imbasnya, para perempuan yang merasa kurang 'laku' di antara pria Indonesia akan mencoba peruntungan mereka dengan pria asing yang lebih menghargai perbedaan dan lebih tertarik untuk mempelajari budaya Indonesia. Hal ini bisa menjadi hubungan yang menarik jika dilakukan dengan benar. Tapi yang terjadi kebanyakan adalah para perempuan ini terlalu mengagungkan pria-pria asing ini dan rela melakukan apa saja untuk menjadi istri mereka dan punya bayi dari mereka.
Saya melihat banyak orang seumuran saya, sebagai 'blasteran' yang sangat rupawan tapi tidak cerdas, karena orang tua mereka tidak terlalu mempedulikan perkembangan karakter mereka. Sayang aja, kebanyakan orang yang hidupnya 'hancur' adalah orang-orang dengan wajah paling cantik/ganteng. Identitas, harga diri atau karakter mereka kurang terbentuk.
Apakah ini yang kita inginkan untuk generasi penerus? Di TV kita menonton wajah-wajah indah, yang kebanyakan hasil dari pernikahan antar ras. Tapi kita juga bisa melihat betapa rendahnya kualitas pendidikan dari acara TV itu. Yang dipedulikan hanya penampilan dan gaya. Kehidupan orang kaya yang diumbar berlebihan padahal semuanya palsu.
Kita dibuat lupa, bahwa yang lebih penting adalah apa yang ada di dalam otak dan hati. Kita tidak perlu anak-anak bodoh bertampang keren. Dan kita juga tidak mau generasi cerdas tapi tidak berhati. Jadi sepertinya yang harus kita pertanyakan adalah: apa benar anak-anak lucu adalah satu-satunya yang kita inginkan untuk membentuk sebuah keluarga? Atau cinta sejati kah yang kita cari?