Dua hari terakhir, Jakarta menyaksikan "demo cinta" warga pada Sang Gubernur, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Saya bukan pecinta politik, tetapi seperti halnya banyak orang lain seperti saya, aktivitas politik sejak Jokowi dan terlebih Ahok naik pentas membuat saya lebih memperhatikan sepak terjang mereka dari jejaring dan media sosial. Tapi bukan itu yang mau saya bahas di sini.
Hari ini kita semua terbangun dengan berita mengejutkan: 70-an karangan bunga yang kemarin menghiasi halaman Balai Kota kini membludak menjadi 1000-an. Bahkan saking banyaknya halaman Balai Kota tak lagi sanggup menampung, dan karangan yang datang belakangan dipajang di sepanjang Jalan Medan Merdeka Selatan.
Mungkin saya belum membaca semua tulisan dari karangan itu--hanya yang beredar di grup chat saja--tapi membaca puluhan yang ada saja membuat saya trenyuh. Kalimat-kalimat ungkapan rasa sedih, syukur, dan dukungan yang kadang seperti curhat nan lucu membuat saya sulit membendung air mata. Bukan tulisannya atau indah karangan bunganya yang menyentuh saya, tapi ketulusan warga DKI yang mencintai gubernurnya yang membuat hati saya bergolak.
Ngga terlalu heran sebetulnya ketika ada pihak-pihak yang nyinyir atas berita ini. Ada yang bilang Ahok sendiri yang memerintahkan anak buahnya memesan 1200 karangan bunga, ada yang bilang semua karangan dipesan dari sebuah toko kembang langganan partai tertentu. Anything, lah--ngga masuk akal dan ngga bikin panas sebetulnya. Cuma heran aja, kenapa bisa sampe segitunya membenci orang yang bahkan mereka ngga kenal secara pribadi.
Orang bilang, tak kenal maka tak sayang. Jadi wajarnya memang orang yang menyayangi akan lebih sedikit daripada yang tidak sayang. Tapi kalau benci? Setahu saya, lawan dari sayang bukanlah benci, melainkan tidak peduli. Sementara sumber dari benci adalah iri hati, yang bersumber dari kebutuhan batin dan iman yang tidak terpenuhi. Ketika seseorang percaya diri, punya iman yang kuat, menerima keadaan diri dan yakin kalau dirinya "cukup", maka dia tidak akan pernah iri hati atau membenci orang lain.
![]() |
Dok. Turangga Seta |
Belajar dari budaya Jawa, saya memahami bahwa manusia terdiri dari beberapa "lapis" yang dikandung dalam Raga, tubuh atau badan fisik. Di dalam Raga terdapat Kala Rodra, Kala Angkara, Kala Wiguna, Kala Nimpuna, Nyawa, dan Suksma Sejati. Kala Rodra menguasai sifat jahat manusia; Kala Angkara menguasai sifat amarah; Kala Wiguna menguasai sifat cerdas manusia, dan Kala Nimpuna menguasai pembeda sifat baik dan jahat dalam diri manusia. Keempat Kala Utama ini adalah hal-hal yang mempengaruhi kegiatan kita sehari-hari. (Suksma Sejati adalah roh kita yang abadi dan bisa bereinkarnasi; Nyawa atau Jiwa adalah ketika Suksma Sejati menyatu dengan Raga pada kehidupan sekarang, yang menjadikan kita seseorang dengan karakter yang dipengaruhi unsur-unsur seperti zodiak, genetika, dan lingkungan.)
Dalam urutannya pula, Kala Utama ini menjadi wadah untuk kala di "dalam"-nya dan menguasai kala di "luar"-nya. Contohnya, kalau kita bisa menguasai Kala Angkara, kita bisa mencegah diri kita berbuat jahat; dan kalau kita tidak bisa meredam emosi/amarah, kemungkinan besar kita lebih mudah berbuat hal-hal jahat. Dan seperti bisa kita lihat di sekitar kita, jarang ada orang-orang cerdas (menguasai Kala Wiguna) yang emosional, dan orang-orang bijaksana biasanya tidak membutuhkan terlalu banyak hal dalam hidup--mereka bisa bahagia hanya dari hal-hal kecil, bahkan bisa berbahagia untuk orang lain dan kepentingan orang banyak (alias tidak egois).
Kita juga bisa lihat, betapa kaum "haters" atau "kaum sumbu pendek" yang terlibat beberapa aksi demo "anti-Ahok" kebanyakan bukan dari kalangan orang terpelajar, yang level penguasaan dirinya masih di lapisan Kala Rodra. Kalaupun terpelajar, biasanya mereka adalah oknum-oknum yang punya nafsu/hasrat untuk menguasai sesuatu yang mereka tidak bisa--dan menghalalkan segala cara supaya tujuan pribadi mereka terpenuhi dengan memprovokasi mereka yang tidak bisa membedakan baik dan buruk. Semua yang dipikirkan hanyalah untuk diri sendiri, masa bodo dengan orang lain.
Ada yang bilang, orang-orang seperti ini tidak punya nurani. Sebenarnya, mereka punya kok. Hanya saja ketutupan sama Kala Utama yang tidak mereka kuasai. Jika kita bisa menguasai keempat Kala Utama, kita bisa mendengar lebih jelas suara hati / nurani kita. Jadi, kuncinya ada di penguasaan pikiran dan kontrol emosi.
Ada sebuah pemikiran bagus dari cendekiawan Muslim Jimly Asshiddiqie yang saya dengar hari ini, isinya kurang lebih begini: "ketika kita berpikir dalam kerangka benar dan salah, yang ada hanyalah kita benar dan yang lain salah; dalam kerangka halal dan haram, yang ada hanyalah kita halal dan yang lain kafir" (konteks yang sangat cocok ditujukan bagi orang-orang yang masih di level Kala Rodra tadi). Padahal manusia diciptakan Tuhan beragam supaya kita belajar baik dari buruk, terang dari gelap. Jika kita semua seragam, kita tidak belajar apa pun, tidak berkembang dan tidak berguna.
Saya menghadiri sebuah diskusi ngalor-ngidul tertutup hari Minggu lalu yang membahas tentang Tuhan dan semesta. Salah satu yang dibahas adalah sifat ketuhanan yang tidak bisa hilang dari manusia adalah ilmu dan kreativitas. Sebagai makhluk ciptaan yang paling sempurna, kita diwajibkan berkembang melalui semua masalah dan liku hidup kita supaya bisa lebih sempurna lagi di mata-Nya.
Sebuah peribahasa bilang "tidak ada yang abadi di dunia ini", karena sejatinya "hidup adalah perubahan". Makanya kadang kita merasa bosan dalam hidup; karena jiwa kita berontak pada kemonotonan. Suksma sejati kita merindukan perubahan, supaya kita bisa berkembang dan menjadi lebih sempurna. Jadi kalau tidak ada perubahan atau perbedaan dalam hidup, bagaimana cara kita mencapai kesempurnaan?
![]() |
via klimg |
Kembali pada Ahok, saya membaca sebuah testimoni yang mengatakan bahwa selama tiga tahun memimpin Jakarta beliau rajin mengirim karangan bunga sebagai perwakilan ucapan selamat darinya pribadi (bukan dana APBD) untuk warga yang sedang bersuka maupun berduka cita, di samping menghadiri undangan-undangan itu. Dan hari ini, kita semua menjadi saksi balasan warga, sekaligus ribuan bunga yang menyatakan kasih, hormat, dan rasa terima kasih pada Sang Gubernur.
Hari ini kita menyaksikan cinta, yang diwakilkan karangan karangan bunga. Hari ini kita melihat betapa kejujuran, kerja keras yang nyata, ketulusan dan keteguhan hati tidak pernah sia-sia dan hasilnya terasa bagi orang banyak. Dan hari ini kita sadar bahwa sentuhan kasih selalu bekerja jauh melampaui tujuan awalnya: apapun yang kita lakukan/berikan dengan kasih akan menyentuh jiwa bukan hanya orang yang menerima tapi juga orang-orang yang melihat.
Sempat ada beberapa tulisan nyinyir yang saya baca dari pihak-pihak yang tidak suka melihat banjir karangan bunga di Balai Kota. Mungkin itu adalah ungkapan jujur emosi mereka, tapi kita bisa melihat betapa tidak damainya hati mereka, sehingga melihat karangan bunga saja bikin iri. Ada yang menulis "ngapain kirim bunga, duitnya mending untuk warga miskin." Benar sih memang, tapi kalau ada budget-nya, karangan bunga bisa berbuat lebih banyak daripada uang. Karangan bunga bisa mendongkrak semangat, membuat penerimanya berasa dicintai, menyentuh hati orang-orang yang membaca... simply making one's day. Karangan bunga adalah tanda cinta dan perhatian.
Ahok telah memenangkan hati warga Jakarta, Indonesia, dan bahkan dunia. Dan satu hal yang sempat kepikiran, saya menyandangkan nama Ahok sejajar dengan Mother Teresa. Walau ada teman yang memprotes, tapi buat saya mereka sama-sama tokoh yang menyebarkan cinta kasih, bekerja dengan tulus dari hati, dan dicintai orang-orang yang mereka sentuh. Bahkan, nama mereka sama harum di seluruh jagad raya. Jadi ribuan karangan bunga hari ini bukan hanya sekedar "sumbangan Rp 500.000" tetapi merupakan perayaan cinta dan apresiasi warga terhadap ketulusan hati gubernurnya.
Teruslah berjuang, Pak Ahok!
Doa kami menyertaimu.
Foto via tribunnews.