Ini adalah kalimat milik adik saya yang sering saya kutip. Awalnya terdengar lucu, memang. Tapi ketika saya pikirkan lebih mendalam, ada banyak makna yang terkandung di balik celetukan spontan adik laki-laki saya ini. Selain adik perempuan bungsu yang sering muncul di sosmed saya, ada laki-laki yang lahir di antara kami. Si anak tengah yang malas diikutsertakan dalam foto-foto selfie.
Kami tiga kakak-beradik tumbuh di lingkungan keluarga yang didominasi perempuan: dengan ayah yang sering bepergian ke luar kota semasa hidupnya, otomatis rumah tangga dipimpin oleh ibu kami. Dan hubungan beliau yang dekat dengan empat kakak-adiknya yang semua perempuan, lengkaplah pengaruh kuat feminisme di keluarga kami, walau kemudian jumlah (sepupu) lelaki yang lahir di keluarga ini membuat imbang kedua gender secara kuantitas.
Bisa kalian bayangkan betapa ramainya suasana kalau sekeluarga ini berkumpul: obrolan hangat para tante yang sibuk memperhatikan perkembangan para keponakan berakhir wejangan-wejangan jangan begini, harus begitu, dan sebagainya. Saya menganggap semua ini bentuk perhatian mereka. Tetapi untuk adik laki-laki saya, perhatian mereka malah membuatnya jengah. Akhirnya, adik saya sering menjawab petuah-petuah mereka dengan kalimat "Nggak ada yang 'harus' dalam hidup ini."
Para perempuan kakak-adik ibu saya ini, yang saya panggil 'auntie', adalah perempuan-perempuan perkasa yang berhasil bertahan hidup tanpa sosok lelaki dalam hidup mereka. Walau kasusnya berbeda, saya bisa melihat betapa karakter mereka dipaksa menjadi dominan karena tiadanya / kurangnya peran lelaki dalam hidup mereka dalam 10 tahun terakhir. Mungkin dari sinilah karakter kuat saya terlahir; saya banyak belajar dan/atau mencontoh dari mereka.
Beberapa minggu silam, ada masalah yang mempengaruhi seluruh keluarga kami. Dalam kepanikan kami berkumpul untuk membahas dalam rapat keluarga. Dan sebagai tetua di keluarga, tante-tante saya secara dominan memimpin rapat. Tetapi ada hal yang ganjil dalam rapat ini. Metode yang selama ini diterapkan selama bertahun-tahun dalam keluarga tidak akan dapat menyelesaikan permasalahan yang baru ini. Dibutuhkan cara baru untuk mengatasi masalah baru (sayangnya saya tidak bisa menceritakan lebih detail jenis masalah kami.)
Untungnya kehadiran adik ipar saya memberi angin segar untuk keluarga kami. Mungkin ini adalah rapat keluarga besar pertama yang ia hadiri walau dia sudah dua tahun lebih menikah dengan adik saya. Malam itu ipar saya mengingatkan kami semua: tidak ada manusia yang sama. Kita semua punya waktu dan jalan masing-masing. Dan hal ini tidak bisa dipaksakan.
Ada orang yang bandel semasa mudanya, tetapi menjadi orang sukses di masa tua. Ada orang yang hidup baik-baik semasa mudanya, lalu 'belajar bandel' di masa tua. Ada yang harus melewati berbagai masalah, ada yang hidupnya tampak lancar-lancar saja. Semuanya dalam porsi dan jalan masing-masing, tergantung yang ditentukan dan disediakan oleh Tuhan. Semuanya tergantung pada misi jiwa masing-masing.
![]() |
via pinterest |
Saya tahu hal ini; saya telah melewatinya selama bertahun-tahun terakhir. Saya melihat betapa saya, si 'hopeless romantic pencari cinta' (yang kata ibu saya "tidak bisa hidup sendirian") ini bisa menjomblo sampai bertahun-tahun sampai bertemu orang yang saya rasa tepat untuk mengisi kekosongan hati, dan membandingkannya dengan adik perempuan saya yang sangat mandiri dan tidak terlalu pusing masalah cinta tapi malahan dengan mudahnya menemukan 'jodoh' dan menikah di usia 27 tahun. Usia yang saya jadwalkan untuk pernikahan saya sendiri, tapi rupanya Tuhan berkehendak lain. (Saat ini saya berusia 33 dan masih 'belum siap' untuk menikah.)
Saya dan adik saya terpaut empat tahun, tetapi banyak orang yang bilang wajah kami mirip, hampir kembar. Kami besar di rumah yang sama, mengalami didikan yang sama, pendidikan yang sama di bidang desain interior, dan pemikiran serta selera kami banyak yang sama. Tetapi tetap saja jalan hidup kami berbeda. Rupanya dia lebih cocok hidup berumah tangga, sementara saya sibuk menciptakan karya dan terlibat hal-hal sosial lainnya.
Jelas, kita tidak bisa memaksakan pemikiran kita pada siapapun. Ada tante saya yang bekerja selama 27 tahun di satu perusahaan sampai mendapatkan posisi tinggi dan akhirnya pensiun, dan ada ibu saya yang menjadi ibu rumah tangga di usia 24 tahun dan aktif berkegiatan sosial selama hidupnya. Jalan hidup mereka berbeda, dan tingkat kedewasaan spiritual mereka pun berbeda.
Tetapi ketika ada pembahasan masalah di keluarga, kalimat yang paling sering saya dengar adalah "harusnya begini..." dan "harusnya begitu...". Setiap orang punya pemikiran masing-masing, sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman masing-masing, yang akhirnya membuahkan idealisme masing-masing. Lalu bagaimana dengan kata "harusnya" tadi?
Saya belajar banyak dari buku dan film yang saya tonton, kebetulan saya penggemar berat buku dan film. Saya menemukan bahwa hubungan yang paling indah dan berhasil adalah ketika kita tidak lagi mempermasalahkan yang "harusnya" (yang muncul dari ego) tetapi dengan mendukung apapun yang tengah dialami oleh keluarga / pasangan kita. Dalam banyak kasus, tindakan menghakimi atau menasehati dengan "harusnya" ini berakhir dengan salah satu pihak menjauh karena merasa tidak didukung, karena pihak yang satu hanya berpatokan pada idealisme yang tidak bisa diaplikasikan pada permasalahan yang dihadapi.
![]() |
via blogspot |
Balik lagi ke lirik lagu The Beatles yang klasik: all we need is love. Dengan cinta yang tulus, kita bisa mengesampingkan ego (yang adalah melihat dari kacamata diri sendiri) dan berfokus pada individu (yang menempatkan diri kita di posisi orang lain atau dikenal sebagai empati.) Seringkali kita merancukan toleransi dan cinta. Toleransi adalah sebuah sikap yang "memaklumkan" tindakan orang lain. Tetapi cinta kasih menerima seseorang sepenuhnya, secara utuh. Sebaliknya, permakluman akan berhenti suatu saat ketika mencapai sebuah titik yang tidak lagi bisa ditahan.
(Kalau mau membahas ini di ranah kebangsaan, saya memang kurang suka kata-kata 'toleransi antar umat beragama'--buat saya yang lebih layak adalah 'mencintai sesama anak bangsa' sehingga kita tidak saja memaklumkan keberadaan satu sama lain tetapi menerima sepenuhnya dan merasa saling memiliki sebagai anak-anak satu bangsa. Sepertinya dengan begini rasa kebangsaan lebih mudah dibangun.)
Kembali ke permasalahan keluarga tadi, rapat malam itu awalnya dipenuhi dengan idealisme "harusnya" khas para tante saya. Tetapi apa yang kemudian ditawarkan oleh ipar saya sungguh mengubah pandangan dan suasana di keluarga. Ipar saya kira-kira mengatakan begini: "ketimbang merasa kecewa atau menghakimi, sebaiknya kita merangkul yang sedang bermasalah dan mempraktikkan cinta kasih."
Kebiasaan kami mengatakan "tuh kan" memang tidak ada gunanya dalam perkara apapun. Lalu bagaimana kalau memang prediksi kita terbukti benar? Jika sudah bisa memprediksi sebelumnya, kenapa kita tidak menghentikan yang buruk itu sebelum kejadian? Kalau tetap yang buruk itu kejadian, apakah "tuh kan" dan "harusnya" itu bisa menjadi solusi? Lalu bagaimana caranya memulihkan keadaan?
Pada dasarnya semua kembali ke cinta kasih. Seperti film Frozen yang sangat menyentuh saya waktu adegan Elsa menemukan cara mengendalikan kekuatannya: tindakan cinta selalu lebih kuat daripada ketakutan. (Ketakutan menimbulkan kemarahan; kemarahan menimbulkan kebencian; kebencian menimbulkan siksaan.) Jadi, lebih enak kalau kita penuhi diri dengan cinta dan sebarkan cinta itu pada semua orang di sekitar. Betapa damainya dunia ini jika kita bisa seperti ini ya!
Satu pelajaran lagi yang saya dapatkan dalam rapat malam itu: orang yang melakukan kesalahan memang layak mendapatkan hukuman, tapi sebaiknya hukuman itu bukan datang dari kita. Hukuman akan datang dari Tuhan sebagai Yang Maha Kuasa menurut ukuranNya sendiri. Bukanlah hak maupun kewajiban kita untuk melaksanakan penilaian itu.
Sebaliknya, kita, sebagai anggota keluarga / pasangan / teman, sebagai sesama manusia yang penuh keterbatasan, bertugas hanya memberi cinta. Orang-orang yang tersesat tidak membutuhkan tudingan atau penilaian. Mereka membutuhkan cinta dan dukungan untuk kembali ke 'jalan yang benar'. Ketika mereka tampak paling tidak layak dicintai itulah saatnya kita mempraktikkan perintah Tuhan untuk mengampuni dan mencintai. Dan ini bekerja di banyak tingkatan.
![]() |
via tumblr |
Saya teringat kisah sebuah suku di Afrika yang, ketika ada yang berbuat kesalahan, menempatkan orang itu di tengah desa dimana seluruh warga datang mengerumuninya. Selama dua hari itu warga akan mengatakan pada orang itu semua kebaikan yang pernah diperbuatnya. Suku ini percaya bahwa setiap manusia datang ke dunia dengan kebaikan. Pada dasarnya setiap orang hanya mendambakan keamanan, cinta kasih, kedamaian, dan kebahagiaan. Tetapi kadang untuk mencapai ke sana ada saja yang berbuat kesalahan (dan ini manusiawi.)
Suku ini melihat kesalahan itu sebagai permintaan tolong. Mereka bersatu untuk mengangkat orang ini, untuk mengembalikannya pada sifat alaminya, mengingatkannya pada siapa dia sebenarnya, sampai dia ingat sepenuhnya mengapa dia sementara itu terputus dari kebenaran bahwa "saya adalah orang baik".
Shikoba Nabajyotisaikia!
Nabajyotisaikia, adalah pujian dalam bahasa Afrika Selatan yang artinya "saya menghormati Anda, saya menghargai Anda. Anda penting bagi saya."
Shikoba, sebagai balasannya, berarti "Jadi, saya hadir untuk Anda."
Betapa indahnya contoh ini untuk ditiru!
Saya tumbuh besar di lingkungan yang percaya bahwa pelajaran paling penting di dunia ini adalah iman, pengharapan, dan cinta kasih. Dan dari ketiga hal ini, yang terpenting adalah cinta kasih. Jadi saya mencoba mempraktikkannya dalam kehidupan saya sehari-hari, terlebih karena saya baru saja belajar membedakan tindakan yang berdasarkan kasih dan yang berdasarkan ketakutan (baca di sini.)
![]() |
via ftd |
Satu pelajaran baru bagi saya di sini (sementara teori lama menyuruh kita menegur sesama yang berbuat kesalahan): kadang tindakan menegur bisa dilakukan tanpa kata-kata. Menegur sikap seseorang yang kita nilai salah, bisa dilakukan dengan memberi cinta dan dukungan, yang semestinya membuat mereka sadar sendiri akan kesalahan mereka. Akan jauh lebih dahsyat efeknya kalau seseorang 'bertobat' atas kemauan sendiri ketimbang karena merasa terpaksa, bukan?
Saya juga tumbuh di lingkungan yang percaya bahwa khotbah (baca: menasehati) adalah tugas imam di rumah ibadat. Di luar rumah ibadah, tugas kita adalah mempraktikkan khotbah imam dan perintah Tuhan dengan perbuatan baik yang diharapkan bisa menjadi contoh bagi sesama. Saya percaya bahwa perbuatan baik, sekecil apapun, tidak akan sia-sia. Artinya, pasti ada buah hasilnya. Saya juga percaya kalau semua orang bertanggung jawab pada kata-kata dan tindakannya masing-masing. Kalian juga bisa setuju dengan saya, tapi bisa juga tidak. Dan saya tidak punya kuasa apapun untuk memaksa kalian.
Jadi, nggak ada yang "harus" dalam hidup, kan?
*) Image via livelifehappy